Article

Pak De Sul dan Kegalauan Putrinya

 Prolog:

Sebenarnya saya ingin menuliskan cerita ini seminggu yang lalu, sesaat saya bertemu dengan Pak De Sul agar lebih fresh dan barangkali ada diantara kita yang mau sedikit berbagi dengan beliau, tetapi karena konidi saya saat itu tidak memungkinkan, agak sakit dan kemudian selama beberapa hari harus membantu menyiapkan laporan semesteran keuangan dan aset di kantor yang harus selesai tanggal 8 juli 2010 kemarin, maka baru malam ini saya bisa menuliskannya. Mudah-mudahan masih ada hikmah yang bisa kita ambil darinya.


*****

Sudah beberapa hari bahu dan lengan kanan saya terasa nyeri seperti ada yang salah dengan urat-uratnya, sungguh tidak nyaman hidup dengan kondisi seperti itu. Bayangkan untuk sujud dengan sempurna saja saya kesulitan, karena tangan kanan saya tidak bisa menopang dengan baik, bahkan karena sakit itu pula saya harus dua kali ngerepoti teman, Akh Sandy yang rela mengantar dan menunggu saya mengisi acara Mabit Liburan anak-anak SMP/SMA di panti asuhan Al Ikhlas Singosari tanggal 3/Juli/2010 malam, dan Akh Gatot yang membonceng saya ke BLKI Wonojati Singosari pada ke-esokan hari nya. Untuk keduanya saya ucapkan Jazamukumullah khairul jaza’

Karena sudah tidak betah dengan kondisi itu, akhirnya saya memutuskan ke Pak De Sul, tukang pijat tunanetra langganan saya. Ahad, 04/07/2010, ba’da Maghrib saya ke tempat praktik beliau yang terletak di sebelah masjid dukuh Paras, Mulyoarjo, Lawang. Jujur baru kali ini saya pijit di tempat praktik beliau, biasanya ke rumahnya, yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempat itu.

Saya dipersilahkan masuk di ruangan kecil yang berisi dipan yang lebarnya tidak lebih dari semeter, agak aneh juga tengkurap di atas dipan di mana badan saya tidak sepenuhnya bebas bergerak. Sementara itu Pak De Sul sudah mulai beraksi melemaskan otot-otot badan saya.

Seperti biasa saya mulai ngobrol ngalor ngidul, mulai kondisi cuaca sampai situasi politik, saat ini. Ah, rupanya meski beliau buta, beliau tetap mendengarkan berita dari tipi tentang perkembangan situasi di tanah air.

”Lah iya, gimana orang-orang di atas sana itu, kok ya nggak perhatian sama rakyat yang hidupnya di gang-gang sempit seperti kita ini..”

”Dos pundi maksud-ipun (gimana maksudnya) Pak de ?” tanya saya pengin tahu lebih jauh pendapatnya.

”Ya, masak harga-harga sekarang ini pada munjuk (naik), beras, dan kebutuhan lainnya, eh sekarang ditambah listrik juga mau naik “ katanya sambil memijit bahu kanan saya. Saya cuman meringis menahaan sakit.

”Inggih Pak De, wong lombok sama sayuran aja juga naik, telur, (daging) ayam juga naik, padahal khan belum lebaran”

”Makanya itu, kalo yang kerjanya gajinya tiap bulan tetap dan pasti tidak seberapa, (maksudnya para pegawai). Lha kalo orang buruh seperti saya ini khan ya susah, tiap hari belum tentu berapa yang didapat.. baru dapat sedikit, harga sudah naik..”

Dada saya tiba-tiba merasa agak sesak, saya tahu Pak De Sul tidak sedang menyindir saya karena nada bicaranya biasa saja tidak terlihat penuh beban meski beliau menceritakan hal itu.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak dari balik pintu.
”Yah… minta uang buat beli jajan lho Yah..”

”Ayo Lukman, sana Ayah, masih ada tamu ini, nanti saja!” kata Pak De Sul sejenak menghentikan pijitannya. Rupanya si anak tadi segera menyingkir, tetapi masih berada di sekitar situ.

”Putranya, sudah sekolah ya Pak De ..?” tanya saya.

”Harusnya masuk TK, tapi ini masih gantian sama kakaknya dulu. “

”Lho memang kakaknya masuk sekolah juga?”

”Nggak, yang besar sudah lulus SMA, sedang yang nomor dua ini baru naik kelas 2 SMP “

”Dimana sekolahnya Pak DE?”

”SMP PGRI 2 Lawang. Cuman ya itu, sudah waktunya daftar ulang, besok Senin terakhir, sementara ngumpulan uang kok nggak jangkep-jangkep (genap) .. buat daftar ulang. Anaknya bolak-balik tanya.. Bisa bayar nggak sih … kalo enggak aku nggak bisa sekolah … “

”Berapa daftar ulangnya Pak DE?”

”320 ribu.. ya tapi nggak jangkep-jangkep… saya bilang ”Wes talah nduk sesuk nek durung duwe duwit Bapak nang sekolahmu ( Sudahlah nak, besok kalau belum punya uang Bapak mau datang ke sekolahmu) ..”

Tiba-tiba saya merasa menyesal mengapa tanya itu. Yang paling menyesal saya nggak bisa ngasih ongkos pijat lebih banyak, tadi sebelum ke Pak DE Sul hanya ada selembar ratusan ribu tapi sudah saya belikan susu buat Kya, sisanya cukup buat ongkos pijat.. duh ngapain saya tadi beli susu dulu, ah…

Selain itu saya jadi malu. Selama ini betapa jarang sekali saya bersyukur atas nikmat rejeki yang dilimpahkan pada saya, meski mungkin tidak banyak, tetapi alhamdulillah bulan ini masih bisa menyelesaikan pembayaran daftar ulang si Nadia, Dayyan dan Habib yang jumlahnya jauh lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan oleh Pak De Sul.

Kadang saya berpikir, kenapa ya saya harus milih sekolah yang sedikit agak mahal, sementara banyak orang masih kesusahan menyekolahkan anaknya di SD negeri yang katanya gratis tetapi tidak gratis. Tapi kalo saya harus memasukkan anak-anak ke sekolah negeri yang ada, kadang tidak tega. Nadia pernah sempat protes ketika Umminya bilang kalo mau pindah di SD Negeri, “Apa aku masih bisa pakai kerudung?, “Apa aku masih bisa dapat ekstra baca qur’an?” dan sederet pernyataan lain yang rasanya nggak didapatkan di SD Negeri.

’Iya Pak De, saya kira sekolah mesti memberi toleransi kalau memang masalahnya seperti itu..” hibur saya, masih dengan nada sesal tidak bisa memberi ongkos lebih untuk sekedar membantu beliau.

”Ya, saya mesti datang ke sekolahnya besok… “

****


PS:

* Foto Pak De Sul bersama Lukman yang saya ambil setelah sesaat sebelum saya pulang. Sayannya teras rumahnya kurang terang dan hape saya tidak ada blitznya.
* Semoga Allah memberikan bantuan pada Pak De Sul, agar putrinya tidak cemas lagi apakah dia akan bisa terus sekolah atau tidak.

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Pak De Sul dan Kegalauan Putrinya"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.