Article

Udangan Walimah: Antara Kewajiban dan Angpao

 Bulan Sya’ban, dalam budaya Jawa masih termasuk bulan-bulan dalam musim kawin – eh maksudnya – bulan yang dianggap baik dalam melaksanakan pernikahan.

Berbicara tentang pernikahan, tentu tidak akan lepas dengan acara walimatul ursy – sebagai salah satu bentuk deklarasi  pernikahan kepada masyarakat sekitar, sebab tidak ada pernikahan tanpa walimatul ursy. Karena walimutul ursy sendiri adalah sunnah dari Rasulullah s.a.w. sebagaimana sabdanya: Rayakanlah pernikahan walaupun dengan seekor kambing. Kalau kita pahami hadist tersebut dalam konteks budaya arab menyembelih seekor kambing bukan sesuatu yang luar biasa, kalau orang indonesia mungkin sama dengan menyembelih beberapa ekor ayam. Poin penting dari anjuran menyelenggarakan walimatul ursy adalah agar warga di sekitar tahu bahwa si fulan dan fulanah sudah menikah, sehingga tidak menimbulkan fitnah dan pergunjingan.

Nah, dengan seiringnya waktu dan budaya manusia, ternyata walimatul ursy terkadang kehilangan makna dan tujuan aslinya. Di sebagian masyarakat – misalnya tempat saya KKN pas kuliah dulu – pesta pernikahan justru menjadi ajang show of force bagi pihak penyelenggara – duh bahasanya kok kayak apa gitu hehehe—pasalnya saat saya KKN di desa Kalisari Kecamatan Banyuglugur Besuki bulan Mei-Juni tahun 1993 (hihihi lengkap sekali datanya) saat itu sedang musim kawin – eh pernikahan. Yang membuat kami terheran-heran adalah, banyak masyarakat desa tersebut merayakan pernikahan dengan cara besar-besaran- kadang kami tidak percaya, wong rumahnya cuma terbuat dari bilik bambu dan kehidupannya biasa-biasa saja, pas ngadain acara walimahan atau dalam bahasa kita resepsi pernikahan – sampai ngundang grup ludruk segala dan ada yang sampai menyembelih 7 ekor sapi. Padahal di daerah itu termasuk dearah minus, wong air saja sulit, yang punya kamar mandi satu desa cuman 3 orang dan hampir tidak ada yang punya WC sehingga kalo buang air harus di kebun! Lho apa hubungannya?

Besar tidaknya pesta pernikahan bisa dilihat dari undangannya. Yang unik undangan untuk hadir dalam pesta tersebut tidak sebagaimana yang kita tahu. Undangannya terdiri dari  selembar kertas kecil yang diselipkan pada satu bungkus rokok. Semakin mahal rokoknya maka dipastikan semakin mahal dan besar pesta pernikahannya. Dalam tempat tertentu undangannya bisa berupa kiriman makanan, semakin bagus makanannya maka semakin besar pula pestanya. Undangan seperti itu dalam bahasa jawa disebut tonjokan artinya kurang lebih wajib datang.

Dalam budaya yang lebih meng-kota,  saya sering medapati sebuah undangan resepsi pernikahan yang diselipin selembar kertas kecil bergambar celengan, artinya kurang lebih, jika anda datang wajib bawa angpao atau dalam bahasa lain tidak menerima sumbangan selain uang. Bahkan ibu saya pernah dapat undangan yang didalamnya diselipin kertas dengan di atas kertas tersebut ada sebuah gambar rumah dan di bawahnya ada tulisan: alangkah bahagianya jika setelah menikah kami punya rumah! Busyet ini sih ngemis model elit!

Nah gara-gara budaya yang materialistik yang menyelimuti walimatul ursy ini akhirnya membuat sebuah kerepotan tersendiri.  Ya kerepotan bagi yang diundang walimahan. Akhir-akhir ini saya sering mendengar,  baik dari teman di kantor maupun di kampung,

“Besok datang ke nikahannya si fulan?”

“Waduh gimana ya? Lagi Bokek Neh, tanggal tua? Kayaknya nggak dateng deh!”

Apalagi jika yang mengundang adalah orang yang mungkin secara strata sosial lebih tinggi dari kita, pasti banyak yang bingung.  Mau ngasih angpao cuman 20.000,- atau bahkan 50.000,- kok tertalu kecil, kalo lebih dari itu kok ya bisa buat belanja beberapa hari.  Nah repot khan jadinya. Belum lagi kalo budaya masyarakatnya seperti di sebagian  wilayah probolinggo. Dimana setiap angpao yang diterima diumumkan lewat speaker, saat itu juga.

“Abrar… dua puluh ribu… Wahyu… tiga puluh ribu…”

Tujuan dari pengumuman itu adalah, jika nanti si pembawa angpao mempunyai hajatan baik itu walimahan, atau mengadakan khitanan maka si penerima angpao seperti ada kewajiban mengembalikan dengan jumlah minimal sama dengan saat dia menerima angpao. Yang susah lagi kalo ada arisan buat hajatan seperti di kampung halaman almarhum ayah saya. Disana ada semacam arisan dimana bila salah seorang anggota mempunyai hajat maka anggota lain menyumbang kebutuhannya, terserah mau gula, beras atau bahkan kambing atau sapi.  Nah kalo misalnya saat saya punya hajat anda nyumbang sapi, maka pas nanti anda hajatan maka saya harus nyumbang sapi.. dan itu ada catatanya… nah lho repot khan kalo kita pas nggak punya uang.

Begitulah, akhirnya saat ini menerima undangan walimahan menjadi persoalan tersendiri.  Padahal di sisi lain, ada hadist nabi yang menyatakan mendatangi undangan walimah adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslim.  Nah repot  jadinya jika standar budaya menjadi patokan kita ketika hendak menghadiri undangan walimahan.

Saya secara pribadi, tidak pernah ambil pusing dengan yang namanya angpao, artinya jika saya mendapat undangan walimah, maka saya berusaha sedapat mungkin menghadirinya jika waktu dan tempatnya memungkinkan saya datang.  Sedangkan masalah angpao? Saya punya standar tersendiri, biasanya saya jarang memberikan dalam bentuk uang, saya biasa memberikan buku untuk pengantin,  tetapi kadang juga saya memberi uang kalo nggak sempat ke toko buku.  Jumlahnya terserah saya, yang jelas justru jika yang saya hadiri adalah walimahan dari orang yang secara strata sosial lebih rendah dari saya, saya biasa memberikan lebih jika orang yang mengundang saya lebih tinggi, maka terkadang saya tidak membawa apa-apa.

Prinsip saya adalah: saya memenuhi undangan karena itu kewajiban saya sebagai seorang muslim, sedangkan angpao adalah masalah mubah – jadi bisa ngasih bisa tidak. Begitu

Kalo sampean gimana?

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Udangan Walimah: Antara Kewajiban dan Angpao"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.