Article

Saya Risih...

Ahad pagi 16/03/2008 saya diminta memberikan kultum setelah sholat subuh berjamaah di masjid di area Agro Wisata Kebun Teh Wonosari Lawang. Kultum itu sendiri adalah rangkaian acara Mabit (bermalam di suatu tempat untuk mendengarkan kajian dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) yang diadakan teman-teman di Lawang.
Ketika di atas mimbar saya melihat beberapa jamaah di shof belakang cukup saya kenal. Ya mereka adalah jamaah pengajiannya ustadz Imam Syafii. Aduh kok lupa nama mereka ya? Padahal seingat saya sudah tiga kali diajak ustadz Imam untuk menemani bapak-bapak tadi mabit dan outbond keluarga di Kebun Raya Purwodadi Pasuruan. Ah mungkin mereka juga lagi ada acara disini, begitu pikir saya.
Setelah menyampaikan kultum, seorang bapak bersorban dan berkopiah hitam mendekati saya – lagi-lagi lupa namanya, yang jelas bapak itu seorang perwira ABRI yang dinas di Malang dan istrinya menjadi perawat di RS Syaiful Anwar, dan yang jelas saya ingat bapak ini dan teman-teman pengajiannya ikut memberikan bantuan ketika istri saya melahirkan cesar anak saya yang ketiga. Astagfirullah kok saya ini sering lupa nama orang yang telah berjasa pada keluarga saya sih..
“Gimana khabarnya USTADZ…?”
Saya benar-benar terhenyak mendengar beliau menyapa saya dengan USTADZ, wah sejak kapan saya jadi ustadz? Dan sejak kapan bapak ini memanggil saya Ustadz, seingat saya dulu saya cukup dipanggil mas atau pak. Dan itupun saya sudah merasa terhormat mendapat panggilan itu. Aduh betapa risinya saya dengan sebutan Ustadz itu. Tapi mau bagaimana saya hanya tersenyum dan membalas:
“Alhamdulillah baik Pak! Lagi ada acara ya ?”
Sebelum beliau menjawab, Ustadz Abrar sudah memberi aba-aba kepada jamaah untuk memimpin membaca al ma’tsurat. Maka bapak tadi terburu-buru mau mengambil al ma’tsurat-nya tetapi ternyata temennya mengajaknya kembali.
“Maaf USTADZ saya duluan..” begitu katanya.. Ah lagi-lagi saya risih dengan sebutan ustadz itu.
Memang ada yang pernah berkomentar begini ketika saya keberatan dipanggil ustadz: “Lha sampean khan guru…. Bahasa Arabnya guru khan ustadz…”
Iya, sih.. tapi apakah salah jika saya keberatan dengan sebutan itu. Karena bagi saya sebutan ustadz adalah sebutan kehormatan bagi seseorang yang menguasai ilmu agama (syariah) dengan baik dan yang terlebih penting lagi dia bisa memberikan teladan dari apa-apa yang dia sampaikan di mimbar dan di depan orang lain. Dan saya merasa saya belum sampai pada tingkatan itu, baik dari penguasaan ilmu-ilmu syariah apalagi pengamalannya.. saya hanyalah seorang yang selalu belajar menjadi muslim yang baik.
Ah.. saya jadi ingat tulisan Gus Fatih, “Mengapa Saya Tidak Pakai Gelar Akademis”.
Ya Gus, panjenengan benar dan leres sa-estu! Apalah sebutan gelar yang banyak jika itu tidak mencerminkan dan bahkan tidak ada hubungannya dengan kemampuan dan kualitas kita. Dan saya juga heran Gus kenapa banyak orang-orang yang dengan bangga menempelkan dan membiarkan orang lain memberikan gelar dan sebutan-sebutan yang menurut saya tidak atau belum pantas baginya.
Dan saya-pun risih ketika ada sebuah undangan pernikahan untuk istri saya yang memberikan sebutan Ustadzah di depan nama istri saya.
Lagi-lagi saya teringat tulisan Gus Fatih dengan judul di atas yang menyoal apa hubungannya undangan pernikahan dengan gelar?
Ya Allah jauhkan hati saya dari sebutan-sebutan yang melenakan saya dan membuat saya merasa lebih baik dari orang lain.
Astaghfirullah!
Wallahu’alam bisshowab!

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Saya Risih..."!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.