Article

mBahmu Gemblung!

 Bahasa dan Rasa hanyalah sebuah kesepakatan

Ketika saya masih muda dulu {wuiih kayak lagunya alan parson project aja}, ketika saya masih suka bercanda dan mengolok-olok teman, saya sering dengan tidak sengaja membuat orang lain tersinggung hanya gara-gara mengucapkan kalimat yang menurut saya [dan budaya tempat saya tinggal] adalah hal yang biasa!

Pertama kali saya mengalami hal ini saat awal-awal kuliah di UNJEM [tahukan unjem? itu… universitas jember]. Saya ditakdirkan sekamar dengan seorang teman dari wonogiri yang bahasanya jawanya menurut saya yang asli arema jelas-jelas terlalu halus untuk ukuran malang. 

Suatu sore, seperti biasa para penghuni kos berkumpul di kamar saya. Setelah ngobrol sana sini, akhirnya kami saling meledek, kebetulan pecundangnya saat itu saya. Saya lupa apa yang kami bicarakan waktu itu, yang jelas saya hanya bisa tersenyum kecut mendapat ledekan dari teman-teman. Sampe suatu ketika temen saya satu kamar juga nimbrung ngeledek saya. 

Dan dengan santainya saya jawab “MBAHMU!” 

Sebuah ungkapan yang sangat biasa terdengar diucapkan ketika guyonan bagi orang-orang malang. Tapi di luar dugaan saya reaksi yang balik dari ucapan “Mbahmu!” bena-benar membuat saya terkejut

Dengan serta merta teman saya menghentikan candanya dan dengan muka mereh dia berkata dengan tajam 

“Nyapo, mBah-ku ora melu mbok candhak-candhak!” (Ngapain Nenekku tidak ikut-ikut, kamu olek-olok!”) 

Wuah pikir saya, lha koq jadi gini! Padahal ungkapan itu sama sekali nggak kasar bagi orang Malang, wah, ternyata!

Selepas kuliah saya bekerja hampir 3 tahun di Jogja [Yup! Nice town I’ve ever known! Even had to take a bath 5 times a day everytime I wanted to have shalat L… Hoot!…Hoot!] kota yang penduduknya ramah dan lingkungannya yang aman. Hingga seorang akhwat-pun bisa pulang malam dengan santainya ke kosannya. Dan lesehannya itu lhoo yang asyik untuk cangrukan (nongkrong) berlama-lama…sampai larut malam.

Dan selama 3 tahun itu, saya hanya mendengar 2 KALI SAJA orang misuh (mengumpat kasar) dalam bahasa jawa yang terdengar sangat kasar. sangat jauh sekali dibandingkan di Malang,  untuk mendengar orang misuh-misuh anda tidak perlu menunggu terlalu lama, cukup naik angkot dari terminal arjosari sampe Landungsari dan pilihlah sopir yang sedikit suka drag-race… pasti deh sepanjang perjalanan anda mendapatkan semua binatang di BonBin (kebun binatang) akan keluar dari mulutnya!

Saya juga heran kok bisa-bisanya orang jogja nggak misuh-misuh kayak orang malang, lha wong saya pernah naik bis India — 

Temen- saya suka menyebut demikian setiap kali naik bus kota di jogja. habis banyak yang karatan dan asapnya kayak kompor. belum lagi kalo saya nggak dapat tempat duduk turun dari bis kepala saya mesti kaku

Lha gimana nggak kaku? wong kalo berdiri tegak kepala saya sudah sampe kap bus dan harus nunduk. Apalagi bis-bis jurusan sewon-bantul yang lewat jalan pramuka yang suka berjejal-jejal kayak di pilm India J 

Waktunya sudah menjelang malam, kalo nggak salah pas sampe disamping UNPAD (unversitas pak ahmad dahlan) tiba-tiba ada seorang anak muda dengan motornya yang tanpa lampu memotong di depan bis.

Tentu saja dengan serta merta rem dinjak dan banyak penumpang harus terbentur kepalanya ke depan. 

wah yang luar biasa reaksi dari sang sopir dengan nada yang cukup datar.. dia hanya bilang “pancen bocah!”

wah kalo di malang.. mungkin pasti udah dikejar dan dapat bogem mentah anak tadi, yah memang jogja beda dengan malang.

Suatu saat ketika saya ngajar.

Seorang putri peserta pelatihan ngobrol aja dengan temannya, saking kerasnya sampe mengganggu yang lain.

pertama saya ingatkan, eh masih aja. Karena jengkel saya bilang; 

“Wuah… pancen arek Gemblung! Dikhandani gak dirungokno!” — (Wah memang anak Gemblung (badung), diberitahu kok nggak didengarkan) 

Saat itu juga mukanya merah (tapi nggak padam, soalnya wajahnya nggak item wkkw). Dan sejak saat itu dia nggak berani lagi ngomong di kelas saya, padahal dia tuh suka ngomong.begitu juga di luar kelas diem aja.

Akhirnya saya diberi tahu temannya kalo dia bener-benar terpukul saat saya katakana GEMBLUNG! 

Wah…! Padahal di malang kata-kata seperti itu cukup biasa terdengar di percakapan-percakapan informal, dan ungkapan itu tidak berarti kasar, karena Cuma olok-olokan aja.

Akhirnya saya sering harus berpikir dua kali setiap saat saya mau ngomong dengan orang yang berbeda kultur dengan saya.

Saya ingat bagaimana seorang Dustin – remaja seusia smu dari kanada – bilang 

“It’s the boredom question I’ve heard!” 

begitu katanya di depan anak-anak yang saya ajar ketika mereka menanyakan “Where are you from and where’ve you been, Dusty?” 

padahal bukankah pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat wajar bagi orang Indonesia ketika bertemu orang lain yang belum di kenal?

Yup! Jadi ingat pelajaran Cross Culture Understanding pas kuliah….

Yah emang, bahasa (ungkapan) yang diucapkan seseorang terkadang ditangkap berbeda oleh pendengarnya jika mereka kebetulan dari budaya yang berbeda. 

Anda punya pengalaman serupa? 

Silahkan kirim ke blog ini! 

Akan dapat hadiah..... 

ucapan terimakasih! J

 *malang, ramadhan 12, 1425h*

*Pernah saya posting di milis FLP

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "mBahmu Gemblung!"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.