Article

ISBN: Ketika Musim

 Kawin Tiba :mrgreen:

Begitu memasuki bulan syawwal undangan untuk menghadiri akad nikah maupun resepsi pernikahan mulai berdatangan.

Ya seneng, ya agak susah. Seneng karena memang seharusnya kita bergembira ketika ada orang lain berbahagia. Dan sedikit susah karena bulan syawwal ini habis-habisan , soalnya bagi PNS, karena lebaran kemarin jatuhnya di awal oktober jadi gajiannya di rapel akhir september, jadi pas oktober udah-habis-habisan :mrgreen:

Biasanya sih kalo dapet undangan nikah, saya lebih suka memberikan hadiah berupa buku, daripada uang angpao. Apalagi kalo yang mengundang secara kehidupan materi dia jauh di atas saya… jadi bingung ngasih angpaonya. Soalnya bigung, kalo ngasih banyak – kok ya… bisa merubah budget bulanan, kalo ngasih dikit kok ya nemen (keterlaluan -kata orang jawa), jadi ngasih buku aja, plus biasanya istri ngasih bingkisan entah kerudung, entah busana muslim (kalo ini bisa dianggarkan laen, soalnya istri khan juga jualan busana muslim :D )

Trus kalo terpaksa ngasih angpao, kami sepakat tidak memberi nama pada amplop yang kami masukkan. Jujur saya ada beberapa budaya yang kurang sreg di hati saya terkait dengan angpao-mengangpao dalam pesta pernikahan.

Dulu ketika saya masih kuliah, saya KKN di sebuah desa yag sangat terpencil di daerah sebelah selatan atas PLTU Paiton Probolinggo, di desa yang cukup gersang itu ada budaya, menikahkan anak merupakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan . Dan undangannya pun cukup unik, waktu itu tahun 1993, cukup ditulis di sebuah kertas kecil dan disisipkan pada bungkus rokok. Semakin mahal harga rokoknya maka semakin kaya seseorang dan otomatis angpaonya seharusnya makin banyak .

Waktu itu saya sempat menghitung-hitung, kalo yang diundang satu desa, sekitar 700-1000 orang, maka biaya untuk membelikan rokok tiap undanganpun bisa dihitung. Misalkan saja satu pak waktu itu harga rokok bentoel biru sekitar 500 rupiah, nah tinggal ngalikan saja. Belum lagi modal untuk yang lain. Saya sempat terheran-heran ketika ada seorang warga desa yang rumahnya dari bilik bambu mengadakan hajatan pernikahan anaknya, dia menyembelih 3 ekor sapi, mengundang ludruk dari kota.

Wah kalo hajatan di atas desa yang posisinya di atas gunung kapur itu jadi seperti kalo ada pasar malam. Seru dan ramai sekali, apalagi waktu itu belum ada listrik… wah semakin ramai dari hari biasanya.

Yang menarik lagi, tuan rumah berdiri di depan sebagai penerima tamu, dan yang menurut saya lucu, dia membawa tas besar yang berfungsi sebagai tempat angapao dari para tamu… :D dan selama menerima tamu dia bawa tuh tas :) :D

****
Lain lubuk lain ikannya, begitu kata pepatah. Di desa teman saya – di daerah gendingan probolinggo, ada kebiasaan yang unik menyangkut angpao ini.

Di depan pintu masuk tempat acara, ada beberapa orang petugas penerima angpao dan pencatat, setiap angpao yang diterima dicatat dan yang paling seru diumumkan lewat pengeras suara misalnya:

Wildan… dari lamongan, dua puluh ribu rupiah…”

Fitri dari Dinoyo, sepuluh ribu rupiah…”

Isnu dari sono… dua lima ribu rupiah..” dan seterusnya…

Wah pokoknya bikin keki deh!

Tujuan dari pengumuman itu adalah, sang tuan rumah “punya kewajiban” mengembaikan sejumlah uang “disumbangkan” sang tamu ketika dia punya hajatan.

Bagi saya itu masih tidak seberapa, di tempat ayah saya – bondowoso – ada kebiasaan unik di kampungnya. Ketika ada salah seorang warga mempunyai hajatan, maka tetangga pada menyumbang. Nyumbangnya itu tidak berupa uang, tapi bahan makanan, seperti gula, beras, bahkan kambing, yang paling seru adalah hal itu diumumkan di musholla.. misalnya.

“Heri… dua kambing…”

Deni… dua kwuintal beras..”

“Agung… 3 peti telur ayam…” dan seterusnya.

Tujuan dari pengumuman ini juga sama dengan di atas.

Saya cuma berpikir, kalo seandainya saya tahun ini menerima sumbangan 2 ekor kambing, lantas yang menyumbang saya lima tahun lagi punya hajat, maka saya harus nyumbang dua kambing!

Masalahnya adalah harga kambing lima tahun lalu dengan sekarang khan beda..

***
Tapi ada yang bikin saya agak dongkol, suatu ketika di keluarga saya mendapat undangan pernikahan. Undangannya cukup mewah… yang bikin geli sekaligus dongkol adalah… ada selembar kertas terpisah dengan gambar sebuah rumah dan gambar celengan dan ada tulisan: “Alangkah bahagianya jika setelah menikah kami memiliki sebuah rumah…”

“Gila….”batin saya..

Esoknya undangan itu jadi pergosipan di kampung…

“Sudah terima undangan dari Pak XXX..”

“Iya…kenapa?”

“Sampean datang bawa apa?”

“Saya bawa, batu bata satu pick-up”

“Saya pasir… saja” kata tetangga lain

“Saya.. semen…” kata yang lain

Wah ini mau nikahan apa minta sumbangan bangun rumah!

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "ISBN: Ketika Musim"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.