Article

Why I Left .. Part # 2

“...... saat-saat terindah adalah ketika kita bisa bersama anak-anak kita, jalan-jalan, ngantar sekolah, menuntun ke masjid dan lainnya....”
Ustadz Abdullah Sholeh Hadrami




Sambungan dari tulisan sebelumnya... silahkan baca di sini 

*****

Setelah sekitar 4 bulan menjalani “jadwal kehidupan yang baru” dimana saya harus berangkat sepagi mungkin akhirnya dengan berat hati membuat saya memutuskan untuk berpindah ke rumah baru dengan asumsi bahwa rumah baru lebih dekat dengan sekolah anak-anak agar saya tidak “banyak kehilangan waktu” untuk mengantar mereka.


Oh ya, rumah tersebut sebenarnya sudah 2 tahun kami bangun, tetapi tidak kami tempati setiap hari, hanya saat akhir pekan saja, karena kami masih harus menemani dan membantu dua orang tua (ibu dan nenek) yang sudah “lemah” ( nenek saya terkena stroke sehingga hanya bisa duduk dan berbaring di tempat tidur dan ibu saya terkena stroke ringan, sehingga tubuh sebelah kanannya – mulai tangan dan kaki – cukup lemah untuk digerakkan). 


Asumsi kepindahan yang menurut saya akan menghemat waktu, namun saat kami benar-benar menjalaninya tidak demikian. Karena faktanya ya hampir sama antara kami tidak pindah.

Ada faktor yang terlupakan dari asumsi yang saya buat: bahwa saya berhadapan dengan manusia yaitu anak-anak saya yang mereka punya hak untuk menjalani kehidupan mereka berjalan dengan normal sebagaimana anak-anak seusia mereka.

Manalah kami tega memaksa si kecil yang belum genap berumur 6 tahun untuk mengikuti ritme hidup kami yang setiap hari harus terburu-buru. Kalau satu dua hari mungkin tidak masalah, tetapi kalo setiap hari? Ah... berat juga, di saat teman-temannya mungkin masih enak-enakan tidur dia harus bangun, mandi dan sarapan.

Ya, sebelum jam 5 harus sarapan, tentu saja anak-anak yang kondisi perutnya masih belum lapar dipaksa makan pasti akan ogah-ogahan... selain itu dalam kondisi masih mengantuk (sekitar jam 5.15) harus bersiap-siap berangkat. Jangankan yang kecil, yang kelas 1 MTs saja akhirnya juga jam 5.30 dia sudah berangkat ke sekolah yang jaraknya Cuma 50 meter, karena dia merasa kesepian di rumah.

Selain kondisi anak-anak hal lain yang juga membuat saya kadang merasa berdosa adalah – saya akhirnya tidak dekat dengan kedua orang tua yang membesarkan saya di saat-saat mereka membutuhkan saya. Dulu sebelum saya pindah meski tidak setiap hari – karena ada pembantu yang datangnya sekitar jam 7 pagi – saya masih bisa membantu ibu untuk sekedar mengangkat ke kamar mandi untuk mandi pagi. tetapi itu dulu saat saya masih belum berangkat jam 5.15 – tidak mungkin lah orang sudah sepuh harus mengikuti jam kerja saya, jam 4 sudah bangun dan seblum jam 5 sudah mandi... ah sinting saja memaksa orang tua yang sudah tidak berdaya untuk berdingin-dingin mandi!

Hal lain yang luput dari perhatian saya "karena sibuknya dengan tempat kerja saya yang baru terlebih karena berangkat pagi buta pulang sudah teler "-- adalah: menurunnya kondisi kesehatan ibu saya... saya baru benar-benar menyadari sekitar sebulan terakhir, ketika banyak tetangga dan juga teman berkomentar,

"Kok ibumu sekarang kurus sekali dan jalannya semper (menyeret kaki)...!

barulah saya benar-benar sadar, ternyata berat badan ibu hampir beberapa bulan terakhir turun drastis..dari sekitar 60 kg, menjadi cuma sekitar 45 kg... belum lagi, beliau terkena stroke ringan, yang menyebabkan anggota tubuh sebelah kanannya seperti tidak berdaya untuk digerakkan, tangan kanannya susah untuk menganggat benda yang berat dan kaki kanannya juga susah untuk diangkat, sehingga kalau berjalan harus diseret... selain itu semakin hari saya beliau semakin tidak jelas (bahkan tidak dipahami) jika berbicara, sehingga membuat lawan bicaranya perlu sabar dan meminta mengulanginya.... belum lagi karena berat badannya turun, gigi-gigi pasangannya juga kendor dan mudah lepas... dan ketika dokter gigi dirumah sakit memeriksanya, sarannya adalah: ibu diminta meningkatkan kesehatan dan berat badannya agar gusinya tidak kempes sehingga gigi palsunya bisa terpasang dengan baik...

Ah..... mengapa baru sekarang saya tahunya.. 


Kondisi ibu yang demikian ini, membuat adik saya yang diluar kota - untuk sepakat "mengambil alih" untuk merawat ibu di Jogja sekalian menjalani terapi disana.."

Duh, sedihnya saya...sudah punya orang tua yang tinggal seorang, tidak bisa berbakti dengan baik... hiks....

Dan ternyata kondisi seperti ini lama-kelamaan menghantui saya, dan puncaknya adalah suatu ketika nenek saya jatuh terjungkal di kamar mandi dan pelipisnya robek sebesar sekita 5 cm yang harus dibawa ke UGD dan dijahit, yang saya sesalkan adalah saat kejadian saya tidak di rumah dan saking bingungnya adik dan ibu saya hanya mengompres lukanya dan baru 3 jam kemudian dibawa ke UGD – saat saya hendak menjemput anak saya di sore hari. Ah... kok saya merasakan masalah saya semakin tambah berat saja...


Belum lagi di kantor, dengan sangat berat saya harus mengatakan kok semakin jenuh dengan pekerjaan saya ingin melakukan pekerjaan yang berbeda. saya masih ingat ketika saya pindah pertama kali dulu saya ingin mendapatkan tugas baru – karena sudah sejak masuk CPNS saya mengurusi hal-hal yang terkait dengan anggaran dan aset, yang lama-lama saya merasa itu bukan dunia saya.

Ah, kondisi kejenuhan itu mirip sekali saat saya lulus SMA, sejak SMP nilai matematika saya sangat jelek, dan bahkan saat ujian nasional nilai saya kalau gak salah 3 (TIGA) dan di Ijazah SMA nilai matematika saya 5 (LIMA). Maka saat mengikuti ujian UMPTN – saya memilih jurusan yang TIDAK ADA MATEMATIKA-nya, yaitu jurusan bahasa inggris.

Tetapi ternyata dugaan saya untuk LARI dari Matematika adalah salah, ternyata saya masih harus berhadapan dengan angka-angak di pelajaran METPEN (metodologi penelitian) dan di mata kuliah statistik... sudah begitu matakuliah tersebut harus di tempuh selama 3 semester alias 1,5 tahun – byuh... waktu yang lama juga.

Ya, setiap kali mendatangi kedua mata kuliah tersebut saya selalu merasa berat dan hati saya selalu cemas bahkan setiap kali ujian atau bahkan ketika mengerjakan tugas perut saya terasa mulas, pasalnya karena sudah banyak yang tidak lulus dan bahkan sampai mengulang 4 kali, pikiran selalu merasa “stuck” ketika harus menghitung-hitung. I’m really terrible dealing with number... ya menghadiri matakuliah itu sejam ibarat menghabiskan waktu seumur hidup.. begitulah – hanya karena pertolongan Allah, saya bisa lulus mata kuliah tersebut dengan nilai DI AMBANG BATAS KELULUSAN.

Begitulah kira-kira gambaranya, entah karena permasalahan sebelumnya atau memang saya sudah jenuh dibidang itu, akhirnya saya begitu benci terhadap pekerjaan saya - kadang saya merasa gara-gara pekerjaan saya seperti ini semua masalah ini timbul... akibatnya setiap kali mengerjakan pekerjaan yang terkait dengan keduanya saya merasa sangat lelah dan pikiran saya berat sekali. 

Suatu ketika saya periksa ke dokter dan menjelaskan keluan sakit saya dan permasalahan psikologis yang saya alami dan mereka bilang untuk “berbagi” mendelegasikan tugas itu dengan yang lain. Wah.. itu saran yang bagus, tetapi masalahnya didelegasikan ke siapa.. wong saya ini juga staf - bukan bos.... hiks... entahlah

Berbagai masalah tersebut akhirnya terakumulasi dan menyebabkan saya semakin lelah dan sakit sebagaimana saya ceritakan di awal tulisan ini. 


Until i say to my wife, “ENOUGH !  IT’S ALL ENOUGH, i can’t live with all this craziness....!”

Ya, hidup saya terasa kacau semua.....! 





**** 

BREAKING THE PATTERN
 
Setelah memutuskan untuk berhenti dari itu semua, saya mencoba menghubungi teman saya, seorang praktisi master terapi NLP, egostate dan Hypnoteraphi yang menangani permasalahan-permasalahan yang terkait psikologis dan emosi. Setelah saya ceritakan semuanya teman saya bilang,

Level depresi sampean sudah 4 – dan naik dua lagi itu sudah bisa membuat seseorang kalau tidak gila biasanya akan bunuh diri jika tidak kuat imannya....” 


Akhirnya saya minta apa yang harus saya lakukan? 


Dia mengatakan “Break The Pattern” – atau bahasa awamnya “memecahkan pola-pola kegiatan/rutinitas” yang membuat saya mengalami stress berkepanjangan. 


Maka setelah mengajukan pengunduran diri saya mencoba menghancurkan pola-pola kebiasaan yang memicu “kekacauan hidup” selama ini, beberapa dianataranya: 


  • Bangun lebih santai tidak terburu-buru- meski harus bangun sebelum subuh.
  • Begitu selesai solat subuh berusaha untuk menikmati dzikir. Biasanya begitu salam langsung meminta anak-anak untuk mandi dan seterusnya.
  • Membiarkan anak-anak menikmati pagi harinya, dengan bangun tanpa disuruh-suruh dan mempersiapkan kebutuhan sekolah dan sarapan dengan santai.
  • Mengantarkan anak-anak pergi dan menjemputnya pulang sekolah
  • Melakukan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan kantor sama sekali, seperti kembali menulis, mencoba menekuni jualan online lagi sebagai persiapan  jika keputusan akhir saya harus meninggalkan status sebagai PNS (jujur saya secara psikologis saya sudah berat kembali ke kantor..)
  • Mencoba menikmati berkumpul di pengajian dan Bersantai dan membahas kegiatan-kegiatan sosial
Dan.. alhamdulillah setelah hampir 10 (sepuluh hari) saya melakukan itu setiap hari maka, saya sudah tidak stress lagi di pagi hari, tidak marah-marah terhadap anak-anak lagi dan yang lebih ajaib, sakit-sakit yang saya derita seperti nyeri sendi, kepala yang berdenyut-denyut jauuh berkurang dan saya merasa lebih menikmati hidup dan merasa sehat.

Yah... sepertinya saya lebih baik seperti saat ini.


Catatan:

Mungkin ada yang - setelah membaca ini - kok bisa hanya "masalah sepele" seperti itu saya harus mengambil keputusan yang "tidak masuk akal" - atau ada yang bilang, "Masak sih, hanya masalah seperti itu tidak bisa dibicarakan?"

Saya hanya bisa mengatakan,

 ".... kita menjalani hidup kita sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini. Konsekuensi dari itu adalah ya kita tidak bisa memaksakan apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang "penting, mendesak bahkan benar" kepada orang lain. Sehingga ada yang saya anggap sepele, ternyata bagi orang lain bisa jadi masalah besar, begitu juga sebaliknya.... dan seperti itulah kondisi saya... yang mungkin bagi anda semua yang saya ceritakan "bukan masalah besar" - dan itu sah-sah saja..."

****
Update:


Akhirnya.. tanggal 24 September 2015 ibu dijemput adik saya yang di Sidoarjo untuk menjalani terapi dan tinggal di Jogja.. entah sampai kapan.. yang jelas... ketika ke rumah ibu yang sekarang menjadi sepi.. saya merasakan ada sesuatu yang hilang meninggalkan saya... :(





Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Why I Left .. Part # 2"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.