Article

Why I Left .... Part # 1

Living is not just Rushing Hours

Ini bukan cerita sejenis buku “Leaving Microsoft to Change The World” tulisan John Wood mantan CEO Microsoft yang jadi aktivis kemanusiaan – bukan, sekali lagi bukan. Tulisan ini hanya sekedar pengingat dan sebagai media yang membantu saya menjelaskan atas pertanyaan teman-teman dekat saya yang (akan) bertanya tentang mengapa saya mesti mengambil pilihan mengundurkan diri. Daripada saya harus menjelaskan satu-persatu kepada teman yang menanyakan ini via SMS, HP, WA atau media sosial lainnya, maka saya tuliskan saja – biar lebih ngirit dan efisien. Tentu saja saya tuliskan secara global karena kalau ditulis secara rinci bisa jadi buku yang jelas pasti gak akan kebaca -



Sahabat dan teman-teman sekalian, terus terang keputusan ini sangat berat bagi saya dan keluarga, tetapi semuanya itu sudah kami pikirkan walau sekali lagi tidak serta merta mudah menjalani konsekuensinya.


Ceritanya begini, begitu saya menerima informasi bahwa saya akan dimutasi dan benar-benar menerima SK nya sehari kemudian yaitu pada tanggal 31 Maret 2015, rasanya lemes. Bagaimana tidak lemes, wong sejak tahun 2011 setelah saya harus bed-rest selama 2 bulan karena terkena gejala kencing batu saya sudah beberapa kali mengajukan mutasi ke tempat yang lebih dekat. Dan alhamdulillah baru pertengahan tahun 2013 saya bisa dimutasi, meski tidak sesuai dengan tujuan mutasi – di daerah kecamatan Singosari yang masuk wilayah Kabupaten Malang. Penjelasan pimpinan waktu itu karena saya masih dibutuhkan di Kota Malang, dan diminta membantu Kantor Arjosari. Well, saya terima karena lebih dekat dan waktu masuknya kantornya cukup melegakan, sehingga saya tidak terburu-buru berangkatnya.


Ya, sekedar tahu saja alasan saya minta mutasi, selain karena memang alasan kesehatan – saya merasakan bahwa saya sudah cukup lelah untuk bermotor setiap hari berangkat kerja dan apalagi kota malang sekarang kalau pagi macetnya bisa membuat stress.


Baiklah, kembali ke cerita SK mutasi tadi, akhirnya terus terang saya menerima dengan berat hati, karena saya harus menyesuaikan diri dan berjuang melawan kemacetan pada pagi hari, dan yang lebih menyedihkan lagi kalau saya lagi kurang fit, jelas tidak bisa menggunakan angkot atau bis kalau pergi ke kantor, karena pasti dijamin datangnya telat. Gimana gak telat lah, jam 6.30 harus sudah sampai kantor baru.


Konsekuensi dari mutasi tadi, juga berdampak besar terhadap ritme dan “jam hidup” tidak hanya pada saya, tetapi juga buat istri dan anak-anak saya. Akhirnya saya dan istri sepakat membuat “jam hidup” untuk memulai aktivitas harian kami.


Bangun jam 3 pagi, maksimal jam 3.30, saat istri menyiapkan sarapan dan bekal buat anak-anak di sekolah, saya bertugas memanaskan air buat mandi dan membangunkan mereka. Sementara di malam hari istri saya sering rela tidur di atas jam 9.00 karena harus menyiapkan bahan-bahan untuk di masak untuk keesokan paginya.


Faktanya, tidak mudah, membuat 2 anak yang masih usia SD dan 1 masih TK, untuk bisa bangun sesuai yang kami harapkan. Paling lambat mereka harus bagun jam 4 untuk mandi dan bersiap sholat subuh, meski banyak melesetnya, tidak jarang si kecil baru bisa bangun jam 5.30 dan itupun dengan terpaksa harus sudah saya gendong ke kamar mandi. Sementara kakaknya, tak jarang pula meski sudah mandi, ganti seragam dan sholat masih terkantuk-kantuk dan ketiduran di kursi, atau kasur lagi. Kalau sudah begini, kadang tensi darah sudah mulai naik, apalagi jika mereka belum menyiapkan buku-buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Sementara jam sudah semakin “siang” karena jam 5.15 mereka sudah siap semuanya, siap bekalnya, siap bukunya, dan siap berangkat sekolah. Begitulah hal itu hampir 6 hari dalam seminggu.


Jujur saja, jadwal seperti itu tidak bisa setiap hari berjalan dengan mulus, ada saja yang dilakukan anak-anak, kadang si kecil tidak mood untuk sarapan, padahal sudah disuapin, kadang si kecil tidak mau berangkat ke sekolah sambil jalan, kadang kakanya yang bosan menemani adiknya yang kecil berjalan ke sekolah karena gak bisa bergegas, kadang kakaknya juga merasa capai untuk menjalani kehidupan seperti itu setiap hari, bahkan satu diantara mereka pernah bilang, “ Biarlah aku menikmati hidup sebentar,” katanya sambil rebahan di lantai.


Kondisi jadwal yang tidak selamanya bisa berjalan sesuai harapan tersebut benar-benar menguras energi pikiran kami saat menjalani pagi hari, kelelahan pikiran tersebut semakin membuat saya cepat sekali membuat kami marah pada anak-anak apalagi jika waktu sudah mendekati jam 5.30 sementara ada saja yang belum siap, entah si kecil belum memakai kaos kaki, atau botol minumnya belum terisi dan sebagainya. Dan jika sudah begitu – kadang saya membentak mereka, yang justru membuat si kecil menangis dan mogok tidak mau sekolah, dan semakin membuat saya terlambat berangkat.





Hal tersebut terjadi tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali, dan jika sudah memarahi anak-anak – maka sepanjang jalan sampai tiba di kantor yang ada hanya rasa penyesalan semata.


“Mengapa mereka harus jadi korban, gara-gara saya harus berangkat pagi?” kalimat itu terus terngiang berulang-ulang di kepala saya dan membuat saya semakin tidak semangat menjalani rutinitas pagi.


Kenapa saya sering marah saat merasa sudah terlambat? Karena jika saya berangkat lebih dari jam 5.30 maka tantangan terbesar adalah menyediakan stok kesabaran yang tiada batas saat mengendarai motor menuju kantor.


Ya, semakin siang saya berangkat, jalanan menuju kota malang, semakin padat dan tentu saja semakin membuat stress berlipat, dan sampai kantor benar-benar sudah capek secara fisik dan emosi.


Tumpukan stress setiap hari itu akhirnya berakumulasi pada 2 bulan terakhir.. maag saya semakin jadi kambuh, badan-badan sakit semua, dan yang paling parah adalah saat minggu awal bulan September. Saya beberapa kali merasakan kepala tersa berat dan bagian belakang kepala terasa panas dan berdenyut-denyut, belum lagi saya sering merasa tulang-tulang tangan dan kaki kiri terasa seperti di tusuk-tusuk jarum sakit sekali. Dan yang paling parah adalah pada hari sabtu tanggal 12 September 2015, sekitar jam 10-an pagi, saat di kantor dada kiri saya terasa nyeri sekali dan tiba-tiba napas menjadi berat dan tersengal-sengal. Saya benar-benar takut kalau saya sampai pingsan di kantor, yang ada dalam benak saya saat itu, saya segera pulang dan istirahat. Tetapi nyatanya begitu sampai di rumah saya tidak bisa tidur dengan nyaman, bagian belakang kepala masih terasa panas dan berdenyut, dada juga terasa sesak sampai-sampai saya berpikir apa saya harus masuk UGD rumah sakit lagi...


Begitulah kondisi kesehatan yang saya alami, sementara pada minggu-minggu terakhir dan awal september 2015, istri saya juga juga mengeluh badannya terasa lemas, pusing, tangan dan kakinya sering kesemutan dan sering menginggil kedinginan, akhirnya ketika periksa ke dokter diminta untuk melakukan cek gula darah, dan ternyata selama hampir 4 kali cek gula 3 di anatranya menunjukkan kenaikan gula darah yang cukup signifikan, sekitar 290 s.d 300 an... menurut dokter itu sudah warning bahwa istri saya harus banyak istirahat dan mengurangi penyebab stress-nya, kalau tidak bisa menjaga kenormalan gula darahnya, maka akan berpotensi menyebabkan gangguan pada pada organ tubuh lainnya.


Mengetahui kondisi semacam itu, istri saya meminta ijin, untuk “hidup lebih santai” – artinya dia ingin tidak tidur terlalu malam, dan bangun terlalu pagi, dan saya tentu saja menginginkan istri saya sehat dan hidup normal, meskipun konsekuensinya adalah saya harus berangkat lebih siang dan terlambat sampai kantor.


Di saat-saat seperti itulah saya berpikir,


“Apa yang saya kejar dengan semua ini?”


“Bukankah saya bekerja untuk mereka – istri dan anak saya? Tetapi kok rasanya pengorbanan mereka lebih besar daripada yang saya dapatkan?”


Saya jadi teringat ungkapan dalam bahasa Inggris:


“We do need money but unfortunatelly money can’t buy everything!”


Ya, benar, saya butuh uang untuk menjalani kehidupan, tetapi uang yang saya dapatkan dengan bekerja dengan kondisi seperti itu TIDAK AKAN BISA MEMBELI : senyuman anak saya, rasa sehat dan bahagia istri saya dan tentu saja ketenteraman bathin bagi saya..


“What kind of life I’m living now!” 


 ***** 
bersambung di bagian ke # 2 - silahkan klik ini






















Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Why I Left .... Part # 1"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.