Article

Days and Nights @ Hospital: Orang Miskin Memang Dilarang Sakit

Membaca postingan Mas Deni tentang para politikus kita jadi ingat pengalaman ketika menjaga ibu di Rumah Sakit.
***
“Bi… ngambil uang di ATM, uangnya tinggal lima puluh ribu, barusan aku nebus obat dua kali habis tiga ratus …” kata istri saya. 
Padahal seingat saya uang itu baru mengambil sore hari sebelumnya. Begitu masuk RS pun kami harus menebus resep dokter yang nominalnya juga di atas tiga ratus ribu. Kami masih bisa bersyukur karena sebagian biaya perawatan ibu ditanggung askes pensiunan ayah.
Kemudian saya mengantar istri mengambil uang di ATM di sekitar alun-alun kota malang. Saat menunggu istri mengambil uang saya parkir di sebelah tukang becak yang lagi istirahat di atas becaknya. Saya lihat dia merogoh saku celananya yang sudah kumal dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Hanya ada lima lembar: satu lembar pecahan sepuluh ribu, dua lima ribuan dan dua pecahan seribu. Beberapa kali dia menghitungnya dan memandangnya dengan puas, setelah sekali lagi memandangi uangnya akhirnya dia memasukkan dalam saku celananya yang kumal. Hari itu memang sudah menjelang maghrib. Nampaknya dia puas setelah seharian memeras keringat dia bisa membawa pulang dua puluh dua ribu rupiah.
Saya jadi malu, betapa saya kurang banyak bersyukur. Seharian tadi saya jaga ibu di rumah sakit saya sudah menghabiskan hampir dua puluh ribu hanya untuk makan dua kali beserta jajannya. Ah kalo saya seorang diri menghabiskan hampir dua puluh ribu lebih hanya untuk makan, padahal pak tukang becak itu uang dua puluh ribu untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
“Sudah Bi, four hundred enuf khan…” kata istri saya mengagetkan keasyikan saya memandangi sang tukang becak. Saya cuma menggangguk.
******
“Gimana Dok kondisinya…?” tanya salah satu keluarga pasien yang menunggu di ruang recovery.
“Ya tumornya memang sudah besar,… kemarin sudah kita ambil tapi dikhawatirkan menyebar kemana-mana…jadi kami sarankan sebelum pulang di kemo (terapi) dulu.. biar tumornya nggak berkembang lagi….”
“Begitu ya Dok?”
“Iya… dan paling tidak butuh 4 kali kemo…”
“Berapa biayanya Dok?”
“Gini aja… nanti sampean bisa tanya langsung ke distributor obat yang biasa kesini… biar enak… “
“Tapi masak nggak ada gambarannya Dok?”
“Ya, sekitar empat juta tujuh ratusan…, “Begitu dulu ya Mbak… saya mau melihat pasien yang lain…”
“Ya.. Dok, makasih…”
“Untuk operasi, ini kemarin sudah di obo-obo (diberi perkiraan) sekitar enam sampe tujuh ribu(istilah jawa untuk menyebut juta)…” kata perempuan yang ternyata adik sang pasien yang baru operasi.
“Trus untuk kemo, empat tujuh… empat kali… wes dodolan pasar tenan (wah jadi benar-benar menjual pasar ini)…” kata sang suami dengan gaya seperti kartolo untuk menghibur dirinya.
******
“Dik… ini mbak yu mu di rawat di rumah sakit… aku butuh uang banyak…” kata seorang keluarga pasien lain melalui ponselnya. Dia seorang pedagang di pasar Purwodadi - Pasuruan. Istrinya harus di rawat di RST karena hasil diagnosa terkena kanker rahim, meski tidak harus dioperasi tetapi harus menjalani kemoterapi minimal 4 kali.
“Ya… jual saja rumahmu yang itu… masak nggak bisa…” katanya lagi masih melalui ponselnya.
“Tadi itu adik istri saya.. ya terpaksa, gimana lagi… wong saya nggak bisa kerja nungguin kakaknya disini, usaha saya ya lewat telepon gini. Adik istri saya punya hutang lima juta sama saya.. udah lama… waktu saya nggak butuh sih nggak masalah… sekarang ini saya butuh… toh dia punya dua rumah di surabaya… ya terpaksa.. udah gitu kakaknya sakit dia gak njenguk kesini sama sakali…”
Hati saya miris… mendengar percakapan itu…
Ya… itu adalah percakapan yang saya rekam di kelas terbawah RST Malang - mereka bukan para pejabat dan konglomerat. Mereka adalah orang -orang biasa yang ada disekitar kita. S-oraya sedih melihat itu semua, betapa orang-orang tersebut harus meninnggalkan pekerjaannya untuk menunggu keluarganya yang sakit. Dan mereka bukan orang yang mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan seperti ASKES atau JAMSOSTEK, artinya selain sudah meninggalkan pekerjaan yang otomatis pendapatannya berkurang, mereka masih harus memikirkan biaya perawatan untuk keluarganya yang sakit.
Ingatan saya berkelabat ke beberapa tahun yang lalu saat ayah di rawat di RSSA Malang, ada seorang pasien yang satu ruangan dengan ayah, nyaris tidak mendapatkan perlakuan apa-apa dari rumah sakit, selain pemeriksaan rutin dan jatah makan. Akhirnya saya tahu bahwa dia termasuk keluarga miskin - janganan untuk menebus obat, untuk makan anaknya yang menunggu saja terkadang mendapat belas kasihan dari keluarga pasien yang lain..
Ah… saya jadi ingat dengan tukang becak yang kemarin saya temui di alun-alun.
Saya juga teringat dengan para politisi kita yang banyak menghambur-haburkan uang untuk pencalonannya. Bahkan saya dengar dari temen saya yang dekat dengan salah satu tim sukses calon walikota malang yang kalah dalam pemilihan lalu, sang calon menghabiskan dana sebanyak 7 milliar untuk pencalonananya. Saya yakin calon lain bisa lebih banyak.
ah… betapa mahalnya yang katanya demokrasi dan pesta rakyat itu?
pesta rakyat?
emang rakyat yang mana yang berpesta?
gila kali…!
pesta menghabiskan uang rakyat yang seharusnya bisa buat subdisi biaya kesehatan dan pendidikan itu yang benar!
saya sering beripikir seandainya biaya untuk mencetak poster-poster calon anggota dewan dan pimpinan daerah itu disumbangkan untuk kemslahatan orang-orang yang saya temui di rumah sakit i dan sekolahnya anak-anak para tukang becak saya yakin lebih bermanfaat dunia dan akhirat. Daripada dibuat dan dihambur-hamburkan untuk nyalon anggota dewan, dan walikota/bupati… kalo jadi pasti minta balik modal, kalo nggak jadi bisa gila kayak calon bupati di ponorogo yang gila gara-gara pilkadal!
Ahh…. Gimana sih seharusnya ?
Nggak tahu!
Gelap!

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Days and Nights @ Hospital: Orang Miskin Memang Dilarang Sakit"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.