Article

Pembatalan Haji 2021 : Antara Kesiapan Penyelanggara & Kesiapan Jamaah




Pembatalan keberangkatan haji dari Indonesia terjadi untuk ke-2 kalinya. Bila tahun 2020 pengumuman pembatalannya dikarenakan ketidakjelasan dari pemerintah Saudi terkait dengan diselenggarakan atau tidaknya haji, di tahun 2021 ini, pemerintah mengumumkan pembatalan sepihak justru setelah Saudi memaparkan bahwa insyaAllah tahun ini akan digelar haji meski dengan ketentuan-ketentuan khusus.
Beredar angka yang menyebutkan bahwa hajian tahun ini diadakan untuk warga sekitar dan juga untuk jamaah dari luar Saudi. Angin segar bagi jamaah Indonesia.



Tapi masalahnya, hingga saat ini Indonesia masih masuk dalam daftar blacklist.
Saat Saudi sudah membuka pintu masuk bagi 11 negara yang sebelumnya masuk dalam daftar hitam karena kasus corona yang tinggi, sayangnya Indonesia tidak ada dalam list 11 negara tersebut. Artinya, meski Saudi membuka haji untuk negara lain, sampai tulisan ini dibuat Indonesia masih masuk dalam daftar hitam 🙁
Saya coba memahami kenapa pemerintah mengambil keputusan sepihak untuk membatalkan keberangkatan haji di tahun ini. Ada beberapa point yang jadi pertimbangan selain Indonesia masih di blacklist sebagaimana yang saya sebut di atas.
1. KESIAPAN PENYELENGGARA

Dalam kondisi normal, persiapan penyelenggaraan haji, khususnya untuk haji regular, dilakukan berbulan-bulan. Mulai dari persiapan akomodasi, transportasi, dan lain sebagainya. Belum lagi yang terkait dengan panitia seperti petugas kloter, petugas kesehatan, dll. Ya, mengurus 221.000 jamaah yang terbagi dalam ratusan kloter yang berangkat dari sekian embarkasi tentu bukan proyek lorojongrang yang selesai dalam semalam. Butuh waktu untuk mempersiapkan itu.
Bila dihitung kasar, hingga tanggal kemarin, H-40 sebelum closing date, pemerintah Saudi juga belum mengumumkan apakah Indonesia dapat kesempatan untuk berhaji atau tidak, maka langkah yang
terbaik
memang membatalkan keberangkatan jamaah haji secara keseluruhan.
Kenapa?
Karena bila akhirnya Saudi mengizinkan Indonesia untuk mengirimkan jamaah hajinya sebanyak 50%, 30%, 25%, atau 5% dari quota normal sebagaimana yang sudah diskenariokan oleh pemerintah, akan banyak PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah, seperti mekanisme pembagian quota ke jamaah dan masalah teknis lainnya baik untuk urusan dalam negeri ataupun luar negeri yang menurut saya pribadi, tidak mudah diselesaikan dengan jangka waktu yang sangat singkat.
Pembagian quota misalnya, dilakukan seperti apa? Urut kacang, kah? Namun bila terkendala dengan usia, maka “jatahnya” diberikan kepada yang nomor urut dibawahnya kah? Bila ternyata yang bersangkutan tidak bersedia, berarti akan diberikan pada nomor urut dibawahnya lagi? Butuh berapa tahap untuk menentukan siapa yang bisa berangkat sesuai dengan aturan dari Saudi terkait dengan haji di masa pandemic ini?
Dan ini harus dilakukan setransparan mungkin.
Tentu kita semua berharap agar pembagian quota ini adil dan tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengail di kolam yang keruh, artinya butuh pemikiran yang menyeluruh dan pengawasan yang ketat agar proses penentuan siapa yang berhak berangkat ini dilaksanakan dengan baik.
Belum lagi tentang pemberangkatan. Apakah mau diberangkatkan sesuai embarkasi? Apakah panitia daerah siap untuk menyelenggarakan itu dalam waktu singkat?
Jamaah haji Indonesia bukan cuma berada di Jawa, loh, tapi juga di puncak Kerinci hingga di kepulauan kecil di Maluku yang akses untuk ke embarkasi terdekat tidaklah mudah. Persiapan panitia embarkasi di daerah juga harus diperhitungkan.
Atau anggaplah diberangkatkan terpusat dari Jakarta, berarti butuh biaya lagi dari daerah asal untuk ke Jakarta. Ini dibebankan ke siapa?
Dan banyak lagi kendala terkait dengan teknis yang tergambar oleh saya bila Saudi memberikan kesempatan berhaji bagi jamaah Indonesia dengan waktu yang mepet seperti ini.
Belum lagi Ketika pelaksanaan haji tahun ini dengan perlakuan khusus seperti adanya karatina dll, tentu butuh edukasi kepada jamaah sebelum memutuskan memberangkatkan jamaah.
Ya, meski zaman sudah modern, tapi jamaah haji Indonesia tidak semuanya melek teknologi. Masih banyak dari mereka yang tinggal di pelosok yang tidak mempunyai akses internet. Artinya, hanya untuk mengedukasi saja butuh waktu.
Apalagi terkait dengan penerbangan. Mau menggunakan penerbangan Garuda seluruhnya? Atau Saudia juga? Mau pakai penerbangan regular atau charter seperti tahun-tahun sebelumnya? Kalau charter, berarti ada prosedurnya sendiri terkait dengan slot dll.
Ditambah lagi dengan aturan harus vaksin dengan merk yang sudah ditentukan Saudi. Sementara vaksin yang banyak digunakan di Indonesia bukanlah 1 diantara 4 vaksin yang menjadi syarat untuk bisa masuk Saudi. So, bila ada jamaah yang sudah kadung vaksin dengan Sinovac misalnya, berarti ia tidak bisa berangkat, karena harus menunggu sekian bulan kedepan untuk bisa vaksin lagi. Jadi problem kan ini?
Yang saya tahu, pemerintah sudah menyiapkan beberapa skenario. Bila Saudi memberi quota sekian sekian sekian. Sudah juga diadakan pelatihan-pelatihan untuk pelaksanaan haji sesuai dengan protokol covid, tapi hingga tanggal 28 Mei kemarin yang menjadi batas akhir persiapan, Saudi juga belum memberikan kejelasan tentang apakah Indonesia jumlah quota yang diberi. Jangankan itu, hingga sampai diumumkan pembatalan kemarin, Indonesia masih masuk daftar blacklist karena kasus covid.

2. KESIAPAN JAMAAH

Selain terkendala dengan kesiapan penyelenggara, menurut saya, tidak semua jamaah siap untuk berangkat dalam waktu mendadak seperti ini. Terlebih lagi bila melihat karakteristik jamaah haji Indonesia yang biasa berkelompok dan bukan mandiri.
Bisa jadi jamaah-jamaah yang tinggal di kampung lebih memilih mundur keberangkatan ke tahun depan tapi berangkat Bersama pak Kiyainya ketimbang berangkat tahun ini namun tidak Bersama group.
Apalagi bila mereka tahu bahwa hajian kali ini prokesnya sangat ketat. Harus swab dengan aturan 72 jam sebelum berangkat, artinya, meski sudah siap segala sesuatunya, penentuan bisa berangkat atau tidaknya adalah di detik-detik terakhir. Bila swabnya negative, ia bisa berangkat, bila tidak? Visa dan tiket yang sudah diurus akan terbuang sia-sia.
Itu ketika belum berangkat, bila sudah tiba di tanah suci, jamaah harus dikarantina selama 3 hari. Kalau hasil swabnya negative, maka baru diperbolehkan untuk melakukan prosesi selanjutnya. Bila tidak? Saya belum dapat informasi terkait dengan ini. Apakah akan diisolasi sebagaimana saat musim umroh sebelumnya? Berarti nggak bisa haji dong? Karena haji kan terbatas waktunya.
Dan apakah jamaah siap dengan pelaksanaan haji yang sangat sebentar yang informasinya bahkan tidak ke Madinah ini? Informasinya hajian kali ini betul-betul hanya untuk haji. Nah, bila ini adalah kali pertama jamaah menginjakkan kaki di tanah suci, tentu akan jadi pertimbangan tersendiri bagi jamaah yang mendapatkan jatah berangkat.
Sekali lagi, jangan bayangkan jamaah haji Indonesia ini seperti teman-teman yang sedang membaca tulisan ini, yang melek teknologi, yang biasa plesiran ke luar negeri, yang terdidik, yang mandiri, dan yang mudah beradaptasi. Jamaah haji Indonesia ini ada yang petani, ada yang buta huruf, ada yang belum pernah naik pesawat, ada yang nggak bisa pakai HP, dan lain-lain.
So, kebayang yah, urusan haji ini kompleks. Jadi jangan hanya dilihat bahwa pemerintah terlalu cepat mengambil keputusan untuk membatalkan keberangkatan haji, tapi ini sudah dipertimbangkan dengan matang.
Namun sayangyaaa, kenapa pemerintah juga memasukkan juga pembatalan keberangkatan untuk jamaah yang mengunakan visa selain quota pemerintah?
Padahal untuk keberangkatan dengan Visa Furodah misalnya, pengurusannya tidak melalui Kemenag. Baik penyelenggara dan jamaah sudah siap dengan kondisi-kondisi mendadak dan serba tidak pasti. Jadi, menurut saya, biarlah ini jadi alternatif jamaah untuk berangkat, jangan gebyah uyah.
Untuk haji reguler dan haji khusus quota saya bisa maklum dengan pembatalan itu sebagaimana yang sudah saya ulas di atas, tapi untuk haji furodah, saya rasa ini berlebihan.
Maaf, ini hanya pendapat pribadi, mau beda beda pendapat monggo.
Demikian ulasan saya tentang keputusan pemerintah dalam pembatalan haji tahun ini. Adapun pembahasan yang terkait dengan dana haji yang diselewengkan, juga tentang surat kepada pimpinan dewan, akan saya bahas di tulisan berikutnya. InsyaAllah.
*Habis tidur siang langsung nulis ini, kalau ada yang salah-salah ketik, nanti saya edit yaaah.
Tulisan saya ttg komentar nitizen terkait dengan pembatalan haji atau di sini

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Pembatalan Haji 2021 : Antara Kesiapan Penyelanggara & Kesiapan Jamaah"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.