Article

Mengapa Pelatihan Harus Bayar?


Beberapa waktu lalu, ketika pulang ke Ngawi - saya bertemu dengan semua saudara-saudara kandung dari istri dan pasangannya mulai dari yang tinggal di Ngawi sampai yang tinggal di Jakarta sampai Jambi. Ya, memang kadang momentum “berduka” justru bisa mempertemukan semua saudara yang tinggal berjauhan.

Dan saat seperti itu adalah saat bertukar cerita dan pengalaman, yang paling gayeng adalah ketika bertemu saudara ipar yang bekerja di kantor kementerian pertanian pusat. Dia bercerita betapa susahnya untuk hidup ditengah-tengah rekanan yang tidak jujur dan suka sekali menilap uang yang bukan haknya, baik secara halus dan bahkan ada yang secara sadis dan mengorbankan sesama rekan kerja.

Di akhir obrolan itu saya sedikit memotivasinya agar berusaha mencari penghasilan tambahan lain di luar kantor yang halal, dan saya menawarkan belajar internet marketing. Saya ceritakan apa saja yang sudah saya lakukan dengan internet marketing, dan dia tertarik untuk belajar. Ketika hendak pulang saya berpesan bahwa saya punya rekan trainer internet marketing di ‘dekat jakarta” yang biasa memberikan pelatihan internet marketing. 

Selain itu saya menegaskan bahwa untuk belajar internet marketing “yang berbayar” bukan gratisan dan bertatap muka, saya ceritakan juga pengalaman saya ketika dia pengen belajar secara online bahwa hal itu tidak efektif buat pemula yang tidak punya dasar sama sekali dan bisa-bisa uangnya habis banyak tapi gak dapat apa-apa - kayak saya dulu hehehe.

Saya jelaskan mengapa harus berbayar. Saya ceritakan pengalaman saya sendiri dan juga pengalaman guru internet Marketing saya, Pak Agus “Piranhamas” Setiawan ketika ada mahasiswa yang belajar internet marketing tetapi gak punya duit. Maka Pak Agus memberikan beberapa opsi.

Pertama, si mahasiswa tadi HARUS mengerjakan tugas yang dia berikan dengan target tertentu, misalnya menanam backlink dengan cara blog walking di sekian puluh sampai sekian ratus situs/blog perhari, minggu dan perbulan dan diminta laporannya secara berkala. Jika opsi pertama ini dirasa TERLALU BERAT maka diberikan opsi berikutnya,

Kedua, si mahasiswa diminta membersihkan sepuluh atau sejumah masjid/musholla dan meminta tanda tangan si takmir sebagai bukti bahwa dia sudah melakukan pekerjaan itu. Dan setelah jumlah ditetapkan itu terpenuhi dia diminta menghadap Pak Agus dan baru akan diberi pelajaran internet marketing secara gratis. Namun jika opsi ini MASIH dianggap terlalu berat maka opsi berikutnya,

Ketiga, si mahasiswa diminta untuk melakukan sholat malam selama 40 hari berturut-turut dan dalam sholatnya itu diminta mendoakan kesuksesan dan kelancaran rezeki buat Pak Agus, dan setelah lewat hari ke 40 maka si mahasiswa diminta datang ke rumahnya. Ketika ditanya bagaimana jika si mahasiswa itu berbohong dan bolong melakukan ‘tugas itu” - Pak Agus cuma bilang itu urusan dia sama Gusti Allah!

Dari ke 3 syarat tersebut menurut Pak Agus ternyata hanya ada 1 mahasiswa yang benar-benar bisa memenuhinya sementara lainnya tidak ada yang kembali.t Alasan Pak Agus melakukan ini adalah, karena beliau melihat kebanyakan mahasiswa itu manja dan tidak mau bekerja keras - dengan cara itu beliau bisa tahu kesungguhan sang ‘calon” murid. Kalau tidak diberikan syarat seperti itu, biasanya mereka akan asal-asalan dan ilmunya jadi tidak bermanfaat.

Begitulah alasan Pak Agus, masih ada beberapa cerita menarik tentang kesungguhan dan keberhasilan murid-muridnya, suatu saat mudah-mudahan saya bisa menuliskannya, insyaAllah.

Kembali ke topik di atas, mulanya saya menganggap cara Pak Agus memperlakukan mereka yang ingin belajar gratisan tersebut “cukup kejam” dan “terlalu menyulitkan” - tetapi lambat laun saya jadi paham - setelah saya juga mendapatkan cerita yang hampir serupa dari teman saya seorang trainer pengembangan diri dan juga terapis (menggunakan NLP, EFT, SEFT, dll).

Sang terapis ini cerita, suatu ketika dia melakukan terapi untuk menghentikan kebiasaan merokok kepada beberapa orang selama beberapa waktu berturut-turut. Dan hasilnya pada saat diterapi tersebut sang klien memang sudah langsung muntah-muntah dan tidak mau merokok lagi begitu selesai diterapi, karena hal ini sampai-sampai dia dijuluki “sakti” oleh teman-temannya, dan bahkan ada yang masih suka merokok tidak berani dekat-dekat dengannya.

Setelah beberapa waktu berselang - ada seorang kliennya - yang kedapatan mulai merokok lagi, ketika ditanya mengapa kebiasaannya bisa kembali. Sang klien mengatakan, mulanya setelah habis terapi ketika dia mencoba merokok dia merasa mual, pusing dan tidak enak, akan tetapi si klien ini memaksa dirinya untuk tetap merokok lagi bahkan mengganti “merek yang baru” dan setelah 3 hari lebih dia mulai merokok lagi.

Memang sang trainer itu mendapatkan beberapa pelajaran penting yang bisa menambah wawasan dan pendekatan untuk melakukan terapi kepada klien lain, tetapi yang paling penting lagi mengapa si klien bisa kembali kambuh adalah karena semua terapi itu dilakukan SECARA GRATIS. Dengan gratisan itu akhirnya dia merasa tidak kehilangan apapun jika kembali pada kebiasaan yang buruk itu.

Belajar dari pengalaman itu akhirnya teman saya tersebut memberikan rambu-rambu bagaimana bagi calon klien ini mendapatkan hasil terapi yang efektif. Caranya adalah menetapkan tarif SETARA dengan biaya yang dihabiskan si perokok selama sebulan, misalnya saja sehari perokok menghabiskan 1 bungkus rokok seharga 7 ribu, maka biaya untuk terapi adalah 7000 x 30 = 210.000,-

Biaya sebesar itu tentu sangat berat jika dikeluarkan secara seketika oleh perokok, tetapi hal itu adalah bentuk keseriusan si klien apakah dia memang mau benar-benar berhenti atau sekedar coba-coba.

Berdasar kedua penjelasan di atas akhirnya saya juga berkaca kepada pengalaman saya sendiri ketika memberikan pelatihan gratisan (apapun pelatihannya, tidak hanya internet marketing), maka saya mendapati bahwa mereka yang mengikuti ini sebagian besar bisa dipastikan TIDAK SERIUS, para meternya adalah sederhana, ketika saya beri tugas-tugas yang harusnya dia kumpulkan via email maka nyaris tidak ada yang mengumpulkan - atau hanya satu dua orang saja yang melakukan folow up dengan bertanya via SMS/Email.

Begitulah, akhirnya saya berkesimpulan apa yang dilakukan oleh Pak Agus dan teman saya tadi sepenuhnya masuk akal.

Ya, meskipun saya benar-benar suka gratisan dan pendukung opensource dan freeculture dan bahkan copyleft, maka tetap menyarakan agar ketika kita memberikan pelatihan tetap harus berbayar, meski bentuknya tidak harus uang sebagaimana yang dilakukan Pak Agus di atas.


Nah sekarang saya ingin dengar pendapat anda?
















Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Mengapa Pelatihan Harus Bayar?"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.