Article

Menjadi Guru yang Membebaskan !

 ”Kenapa si utadz muda itu nggak pernah memberi ceramah di sini lagi?” tanya seorang jamaah masjid pada seorang takmir, pada suatu hari selepas sholat shubuh.

”Ya itu masalahnya, dulu dia ngisi pengajian di sini karena atas perintah sang kiayi gurunya. Tapi karena dianggap mbalelo maka dia ”tidak dipakai” oleh sang guru.

”Lho mbalelonya bagaimana?”

”Gini lho, ustadz muda itu khan dinikahkan sama keluarga sang guru, yang tergolong mampu. Sehingga tanpa bekerjapun sang ustadz muda tadi bisa hidup dari tanggungan mertuanya, makanya dia diharapkan untuk fokus ngurusi pengajian saja dan membantu pesantren sang kiayi..”

”Lha khan enak ya… nggak usah kerja – fokus ngajar dan ngurusi ummat..”

”Iya.. sih harapan sang kiayi demikian, tetapi sang ustadz muda tadi bilang ke saya: ”Benar, setiap datang ke rumah, saya selalu menjumpai makanan dan tinggal makan. Tapi saya nggak kolu [nggak nafsu] untuk makan, karena itu bukan hasil keringat saya sendiri. Saya ingin tetap mengajar dan saya juga ingin kerja,. Begitu dia bilang saya. Maunya Pak Kiayi sih dia itu yakin saja, insyaAllah dia akan mendapatkan rezeki dan menjadi besar seperti sang Kiayi. Nah sementara sang ustadz punya pandangan lain, dia merasa punya harga diri. Jadi ya gimana lagi. Makanya dia tidak direkomendasikan untuk ngajar ngaji di sini lagi…” begitu cerita sang takmir tadi.

Sementara yang bertanya hanya manggut-manggut saja.

****

Kisah itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kepada kita – saya dan anda. Dan kitapun bisa menjadi dua-duanya, baik pak kiayi dan sang ustadz muda.

Tetapi yang menjadi poin permasalahannya bagi saya adalah – betapa otoriternya sang kiayi. Ketika tidak memberikan pilihan-pilihan yang sesuai kehendak ustadz muda tadi. Memang pilihan itu tidak seideal dengan tuntuan sang kiayi, tetapi saya kira masih dalam batas-batas yang bisa dikompromikan dan dikomunikasikan bersama. Toh tujuannya sama.

Itulah realita kita saat ini – sekali lagi apapun posisi kita dalam cerita tadi.

Dan situasi itu bisa kita perluas lagi dalam ranah yang lebih luas. Dalam sebuah organisasi, jamaah, proses belajar mengajar di sekolah dan bahkan tempat kerja.

Betapa kita sering menjadi pak kiayi yang begitu bernafsu meminta kepada sang ustadz muda – yang itu bisa jadi bawahan kita, murid kita, dan orang-orang yang kita pimpin – untuk menuruti setiap kemauan kita, yang kita anggap baik bagi mereka. Padahal kemauan kita tadi justru membuat mereka menjadi tidak produktif, karena bertentangan dengan keinginan mereka.

Saya tahu dalam situasi tertentu mungkin saja sikap seperti pak kiayi bisa difahami. Tetapi dalam kondisi tertentu pula keinginan itu menjadi sebuah tirani, sebuah penjara bagi orang lain, orang yang lebih rendah posisinya dari kita. Penjara-penjara itu bisa banyak macamnya. Berupa tekanan perasaan, keterbatasan pilihan, dan sampai menurunnya semangat belajar dan bekerja!

Dan saya yakin kita juga pernah dan bahkan mungkin masih saja menjalani situasi yang serba salah – seperti yang dialami sang ustadz muda tadi.

Bagi saya secara pribadi, saya suka dengan keputusan sang ustadz muda tadi. Memang sangat beresiko. Menjadi tak dihiraukan, dikucilkan dan bahkan disingkirkan atau mungkin lebih dari itu.

Tetapi itulah harga sebuah pilihan. Memang tidak selalu menyenangkan orang-orang yang kita hormati tetapi saya yakin itu lebih menentramkan hati.

****

Menyadari hal itu saya menjadi sering bertanya dan selalu berusaha untuk banyak merenung.. apakah saya telah menjadi seperti sang kiayi yang memaksakan kehendak saya?

Ataukah saya sudah menjadi seorang guru yang membebaskan sang murid untuk menentukan pilihan-pilihannya yang dapat dipertanggung jawabkan?

Ah, nampaknya saya masih harus banyak belajar untuk menjadi seperti itu.

****
Lawang, September 7, 2008

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Menjadi Guru yang Membebaskan !"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.