Article

IBSN: Hadapilah Hidup! Ar Rizqu fis Sama’!

 Sore itu, ba’da maghrib [20/06/2010] saya ngantar istri untuk pijat ke desa sebelah.

Seumur-umur baru kali ini istri saya pijat, biasanya tidak mau karena takut tambah sakit, tapi karena sudah beberapa hari merasa pegal-pegal akhirnya mau juga saya tawari untuk dipijatkan.

Kami menuju Rumah Pak De Sul, tukang pijat tunanetra langganan saya, yang juga pak de dari teman baik saya di Lawang. Saya dapat informasi dari ponakannya – temen saya tadi – kalau untuk wanita istrinya Pak De Sul juga bisa memijat.

Akhirnya setelah maghriban saya dan istru menuju rumah Pak De Sul, yang jaraknya hanya seratus meter dari masjid. Seorang anak lelaki kecil berbusana muslim biru yang kami temui di masjid membukakan pintu.
”Bu ada tamu…” teriaknya.
”Suruh duduk dulu… masih mandi..” jawab suara perempuan dari dalam rumah.

Sesaat kemudian muncullah seorang anak perempuan seusai SMA,
”Ibu taksih siram (masih mandi), wonten nopo (ada keperluan apa?” tanyanya
”Ini mbak istri saya mau pijet sama ibu…” jawab saya
”Oh… monggo pinarak.. rumiyin..” jawabnya sambil mempersilahkan kami duduk. Selanjutnya di masuk ke dalam.

Saya dan istri menunggu di ruang tamu berukuran 3 x 2 meter, yang berisi meja dan kursi tamu terbuat dari kayu yang sudah usang. Bahkan kain pelapis kursinyapun sudah sobek. Ruang tamu yang kecil itu nampak sangat redup karena rumah yang berdiding tembok tanpa cat tersebut belum diplafon sehingga kayu-kayu penyangga gentingnya terlihat dengan jelas. Sementara lantainya juga masih dari tanah belum diplester.

”Ngapunten… sampun nenggo, monggo mlebet kamar mriki” [Maaf, sudah nunggu, mari masuk kesini dalam kamar] kata seorang wanita separo baya.
”Oh inggih bu, matur nuwun” kata istri saya sambil beranjak menuju kamar yang ditunjukkannya.

Saya menunggu dan menikmati suasana rumah dan sekitarnya yang terletak di kaki bukit itu. Sendirian di ruang tamu yang remang-remang. Pikiran saya melayang pada si empunya Rumah, Pak De Sul, seorang tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Beberapa kali saya ke rumah ini untuk pijat padanya. Setiap kali pijat beliau selalu bercerita tentang masa kecilnya, dan kadang kejadian-kejadian saat dia masih muda serta kadang juga tentang keluarganya. Satu hal yang saya tahu dari cerita-cerita itu dan saya menyaksikan sendiri, bahwa meskipun beliau ini tuna netra, tetapi beliau berusaha mandiri, bahkan setiap saya ke rumah teman saya yang hanya beberapa meter dari situ, sering melihatnya melintas di depan kami untuk mengalirkan air dari tandon umum ke rumahnya melalui selang plastik – dan tak jarang hal itu dilakukan pada malam hari. Tentu tidak secekatan orang-orang yang matanya normal.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya istri saya keluar bersama ibu tukang pijat tadi.

”Matur nuwun Bu, sampun ngrepoti panjenengan… (terima kasih Bu, sudah membuat repot)” kata istri saya berpamitan.
”Sami-sami Mbak…” jawabnya.
Saat itulah saya baru menyadari bahwa ternyata istri Pak De Sul juga seorang tuna netra.. Subhanallah, selama ini setiap kali saya pijat dengan Pak De Sul, saya tidak pernah memperhatikan istri beliau. Saya kira beliau wanita normal yang bersuamikan seorang tuna netra – tetapi nyatanya tidak. Untuk menyakinkan diri saya, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah saya bertanya pada istri.

”Lho ibu tadi itu juga tuna netra ya?”
”Iya.. tak kira sampean sudah tahu…!” jawab istri saya.
”Lah, selama ini aku nggak perhatian, wong kalo pas pijet kesana mesti dia cuma bilang tunggu sebentar kemudian Pak De Sul sudah menemui saya. Gimana mijitnya? Sakit?”
”Enggak … wong, setiap aku menggeliat dikit dia langsung tanya “sakit to mbak? Nek sakit panjenengan sanjang! (Sakit Mbak? Kalo sakit bilang saja)” jelas istri saya.
”Pak De Sul itu anaknya tiga.. yang anak laki-laki kecil itu yang bungsu..”
”Iya… anaknya pinter tuh, padahal rumahnya agak jauh dari masjid, tapi mau jamaah ke mesjid, trus di masjid juga sholat dan nggak berisik nggak kayak anak kita si Habib sama Dayyan..” jelas istri saya
”Yang pertama masih SMA…” jelas saya
”Malah sudah lulus, yang nomor dua yang nemuin kita tadi, itu lulus SMP, trus yang kecil ya yang laki itu, baru masuk TK..” ralat istri saya, rupanya sepanjang pijat Bu De Sul juga cerita tentang keluarganya.
”Subhanallah ya, sama-sama buta, punya anak dan hidup mandiri… nggak minta-mita kayak yang fisiknya masih sehat.. “ kata saya.
”Bener… aku malah lebih salut dan respek sama orang-orang seperti itu..” istri menambahkan.

***

Sepanjang jalan pulang saya memikirkan pengalaman yang baru saja saya alami. Betapa kita ini – yang diberikan karunia Allah kelengkapan tubuh yang sempurna kadang masih suka mengeluh dan kurang bersyukur. Bahkan tak jarang justru menjadi beban orang lain.

Saya tidak bisa membayangkan betapa repotnya dua orang tuna netra hidup bersama, merawat anak, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Kalo sekarang mungkin anak-anaknya yang sudah besar bisa membantu, tapi dulu ketika mereka masih balita dan masih anak-anak? Saya jadi malu sendiri yang kadang suka merasa kerepotan sekali menangani anak-anak dan sering membuat sewot, apalagi di jam-jam kritis saat anak-anak mau berangkat sekolah dan kita mau ke kantor. Mulai membangunkan, meminta mandi, menyiapkan sarapan sampai menyiapkan keperluan sekolah… wah kadang benar-benar menguji kesabaran dan sering merasa kewalahan. Padahal saya dan istri dikaruniai anggota tubuh yang alhamdulillah sempurna.

Selain itu yang paling membekas di hati saya adalah betapa Allah itu Maha Adil dan menjamin rizki setiap hamba-Nya yang mau berusaha. Kehidupan Pak De Sul beserta istri dan anak-anaknya menyadarkan saya, bahwa saya tidak perlu khawatir mengahadapi kehidupan ini. Wong mereka berdua yang tuna netra saja sama Allah di kasih rejeki, bisa membuat rumah, meski sederhana, bisa makan, bisa menyekolahkan anak.. sedangkan saya terkadang khawatir dan ragu, apakah saya bisa memenuhi itu semua?

Hal itu juga mengingatkan saya pada anak-anak muda yang sering saya temui dalam pelatihan atau dalam pembinaan-pembinaan remaja yang kami selenggarakan. Mereka sering mengeluh betapa susahnya cari pekerjaan, betapa sulitnya hidup mereka, dan seterusnya, padahal mereka diberikan karunia jasad yang utuh lengkap, diberikan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan, bahkan sebagian sudah sarjana dan berbagai fasilitas yang diberikan orang tua padanya, motor, hape dan seterusnya. Tapi masih mengeluh.. dan mengeluh…

Akhirnya saya juga teringat nasihat salah satu ustadz saya sewaktu kuliah. Beliau, ustadz khoirul Hadi, pernah mengatakan pada kami, ”Ar Rizqu fis sama’ “ [Rizki itu dari langit atau Allah yang menjamin]. Hal itu disampaikan saat beliau baru istrirahat panjang karena penyakit liver yang dideritanya dan beliau bercerita betapa selama beliau sakit ada saja rizki yang diberikan Allah melalui hamba-hambaNya, baik itu berupa materi maupun yang lainnya, makanya begitu beliau merasa sembuh beliau segera menunaikan tugasnya berdakwah dari satu tempat ke tempat lain..

Begitulah selama kita berusaha dan berikhtiar untuk mencari rizkinya, insyaAllah selalu ada jalan bagi kita untuk mendapatkannya.

Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "IBSN: Hadapilah Hidup! Ar Rizqu fis Sama’!"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.