Article

NaD@MU # 16 : Nasi Gudeg Campur Sembarang # 1

Prolog: sudah lama saya nggak meng-update serial Night and Days @ Magistra Utama (a.k.a NaD@MU), saking lamanya sampe lupa sudah masuk seri keberapa? Seingat saya sudah masuk seri 14 atau 15 [maklum nulisnya offline jadi gak tahu pastinya]. Nah kali ini akan saya teruskan lagi.. Selamat menikmati.
****
Bagi orang Malang yang tinggal di kos-kosan sekitar daerah kampus, untuk cari sarapan di pagi hari tentu bukan hal yang sulit. Dan menu standar yang paling umum dan mudah dicari adalah nasi pecel atau nasi campur. Atau kalo gak maugak biasa makan nasi di pagi hari bisa cari jajan gorengan seperti : weci, senjem (menjes), pohong goreng, tahu brontak dan sejenisnya plus kopi atau teh hangat.
Tapi kalo di Jogja – paling tidak pas saya tinggal di sana – jam-jam pagi hari setelah subuh, untuk cari sarapan yang sesuai lidah orang Malang kayaknya susyah banget. Soalnya kalopun ada warung yang buka, rata-rata adalah warung burjo (bubur kacang ijo) yang juga menyediakan mie rebus, dan macam-macam minuman.
Ngomong-ngomong soal mie rebus. Setiap kali beli di warung yang kebanyakan milik orang sunda itu, saya dan teman-teman merasa kok ada yang aneh, mie rebusnya kurang sedap, apalagi mie gorengnya. Padahal yang dipakai adalah sama-sama mie instan yang dijual di toko-toko itu.
Selidik punya selidik, ternyata ada pada ngerebusnya!
Ternyata mie instan yang kering itu dibungkus dalam plastik dan dikasih air sedikit trus plastiknya diiket. Kemudian bungkusan itu direbus! Jika sudah lunak diangkat dan ditaroh mangkok baru di kasih bumbu… nah bisa bayangkan rasanya khan? Apalagi yang mie goreng, pasti kurang sip! Pasalnya bumbunya jadi nggak merasuk!
Saya penasaran kenapa cara masaknya model begitu. Ternyata setelah saya amati ternyata mereka menggunakan panci / tempat merebus yang sama untuk membuat wedang kopi, dan seterusnya.. dengan ditaroh di plastik artinya menghemat waktu membersihkan tempat merebus!
Apa begitu alasan sebenarnya?
Coba tanya saja pada rumput yang bergoyang … :mrgreen: eh penjualnya
***
Nah kembali soal mencari sarapan pagi.
Alkisah suatu pagi bada sholat subuh, kala itu masih awal-awalnya kami tinggal di Jogja. Saya dan Pak Fajar meninggalkan kos-kosan untuk jalan-jalan pagi sambil menikmati suasana subuh di Jogja dan yang terpenting cari sarapan!
Setelah berjalan beberapa saat… kami lihat di seberang trotoar ada kerumuman massa , laki-laki, perempuan, tua muda, pada berderet rapi. Sementara mobil dan motor di parkir tidak jauh dari sana.
Penasaran dengan apa yang terjadi kami mencoba mendekatinya.
Ah… ternyata mereka antri beli makanan… wah luar biasa lapak warung yang tidak permanen dan suasananya remang-remang itu banyak sekali yang ngantri, padahal hari masih gelap. Nyaris tidak ada warung di sekitar situ, kalo nggak salah ingat itu di daerah Gedong Kuning Banguntapan.
Satu persatu bergiliran mereka menerima bungkusan untuk dibawa pulang atau dimakan di situ.
Sejenak berunding akhirnya kami juga turut antrian. Hmmm.. ternyata menunya gudeg! Ya sekalian mencoba gudeg jogja yang katanya sedap itu.
Setelah dengan sabar menanti akhirnya sampailah giliran kami.
Tapi….
“Upsss… !” saya jadi nggak kolu (selera)! Saya langsung kenyang!
Betapa tidak ternyata cara melayani pembelinya cukup antik!
Si ibu tua penjual gudeg itu.. duduk dengan celemek mirip handuk di pangkuannya, sementara di depannya kuali besar berisi gudeg dengan pernak-perniknya, ayam, telur dan tulang tulangnya!
Setiap pembeli ditanya, lauknya apa? Telor atau ayam?
Ketika Pak Fajar menjawab ayam, ditanya lagi, paha, sayap atau yang lain?
Setelah dijawab sayap. Maka dengan santainya tangan sang penjual masuk kuali dan diambilnya daging ayam yang di dalam gudeng itu – yang kalau masih pagi masih utuh ayamnya, kemudian sayapnya dipatahkan pakai tangan. Kemudian diletakkan di piring atau bungkusan yang dipesan!
Kalau pembeli membayar pesannanya, maka dia cukup membersihkan tangannya yang belepotan tadi dengan celemek yang ada di pangkuannya. Dan menerima serta memberikan kembaliannya…
Dan ketika sampai giliran pembeli lain maka ritual tangan obok-obok kuali itu berlangsung lagi, begitu seterusnya.
Niatnya beli sarapan untuk dimakan diwarung jadi urung. Terpaksa kami bungkus dibawa pulang!
Tahu harganya? 5 ribu rupiah!
Dan tahukah anda? Di Malang pada tahun 1997 anda dapat beli menu ayam goreng atau ikan laut di warung-warung sekitar kampus paling mahal 1500 rupiah!
Hmmm…. Sampe di kosan kami berikan bungkusan itu pada temen lain – tanpa menceritakan proses kejadiannya. Dan kami nggak jadi makan!

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "NaD@MU # 16 : Nasi Gudeg Campur Sembarang # 1"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.