Article

IBSN: Take as a Package! [Menerima Apa Adanya]

Ada sebuah artikel yang sangat bagus tulisan Richard Boles – penulis What Color is Your Parachute? – dalam situsnya, judulnya Take as a Package yang artinya kurang lebih Menerima Apa Adanya .
Dalam tulisannya dia memberikan rahasia dibalik langgengnya perkawinannya – yang mungkin bagi orang barat sana adalah sebuah keajaiban. Jawabannya adalah cuma satu : menerima pasangan kita apa adanya
Disana dia mencontohkan betapa banyak hal-hal kecil yang tidak kita ketahui dari pasangan kita sebelum menikah. Yang lebih parah adalah ternyata hal-hal kecil itu bisa saja menjengkelkan dan bahkan membuat hubungan kita renggang dan mungkin hancur berantakan. Di akhir tulisannya – karena dia seorang konsultan karir – dia menyatakan bahwa kondisi itu bisa terjadi dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan kita. betapa banyak kita yang patah semangat bahkan karir kita berantakan gara-gara kita tidak menerima konsekuensi logis dari pekerjaan kita, meski itu hanya sepele.
Saya mencoba menganalisa dengan prespektif yang sama terhadap pola dan cara kita berinteraksi, berhubungan dan menjalin komunikasi dengan teman-teman dan relasi kita – baik itu relasi yang bersifat profesional dalam pekerjaan ataupun relasi sosial kita dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya pribadi ternyata hal itu sulit, menerima seseorang apa adanya – take as a package! Apalagi jika kita mendapati bahwa posisi kita berada di atas dalam artian yang luas – bisa sebagai atasan, bisa sebagai senior, bisa sebagai orang yang lebih banyak memberi, lebih banyak memperhatikan dan sebagainya dibanding dengan orang lain yang berhubungan dengan kita.
Rasa ego kita sering muncul karena menuntut seseorang sesuai dengan keinginan kita seperti : mengapa dia tidak melakukan yang saya minta inginkan, padahal saya khan sudah habis-habisan? atau kok ternyata dia begitu ya? atau dia ternyata tidak sebaik yang saya kira! dan seterusnya.
Kita sering lupa bahwa orang lain mempunyai sisi-sisi gelap sebagai wujud eksistensinya sebagai manusia. kealpaan kita ini membuat kita meminta orang lain tampil sempurna dan dalam keadaan yang terang dan bersih di hadapan kita. akibatnya begitu kita mengetahui sisi-sisi gelap dari orang tersebut kita mencampakkannya dan meninggalkannya.
Dalam prespektif seorang guru/pendidik ataupun coach (pelatih/trainer) tentu sikap penolakan dan pengabaian kita justru kontra-produktif dengan tujuan kita untuk memberdayakan orang lain (jika kita sebagai seorang atasan atau senior) atau semakin memperbaiki dan menguatkan ikatan kita (jika kita melihatnya dalam konteks persahabatan dan hubungsan sosial) atau semakin memacu kita untuk menemukan pendekatan yang terbaik dan paling pas (jika kita bicara dalam konteks seorang guru dan pendidik) atau semakin memberikan kita peluang untuk mengubah kelemahan itu menjadi potensi yang luar biasa (jika dilihat dari sudut pengembangan pribadi). Jika itu terjadi maka akan semakin menjauhkan dari tujuan kita yang utama dalam melakukan hubungan dan relasi dengan orang lain.
Bagaimana sih contoh sederhananya?
Suatu hari ada seorang arab badui yang datang menemui Rasulullah s.a.w, dia mengatakan “Ya Rasulullah..aku mau masuk islam..tetapi aku masih suka berzina.. apakah engkau mau menerima aku?” begitu katanya. Sang Rasul mulia s.a.w hanya tersenyum dan berkata “Ya, tetapi janganlah engkau berbohong jika aku tanya padamu..” 
Apa yang terjadi selanjutnya? ternyata orang arab badui tadi justru menjadi seorang muslim yang taat dan tidak melakukan perbuatan zina.
Coba bayangkan seandainya Rasulullah s.a.w menolak orang itu dan memarahinya.. saya yakin jangankan menjadi muslim yang taat, tidak saja dia menjadi orang yang gemar berzina bahkan mungkin dia menjadi orang yang memusuhi islam.
Kurang lebih seperti itulah seharusnya menerima seseorang apa adanya. Meski perlu dicatat bahwa hal itu bukan berarti merestui dan membiarkan prilaku menyimpang dan buruk dari orang lain, tetapi justru penerimaan kita yang apa adanya itulah yang bisa kita jadikan untuk membantu meluruskan orang lain dari penyimpangan dan prilaku buruknya.
Bagaimana dengan menerima apa adanya atas diri kita sendiri? 
Dalam Neuro Lingusitic Programming (NLP) ada sebuah pernyataan: kita tidak bisa tidak berkomunikasi dengan diri kita
Mari kita lihat, betapa sering kita menolak sisi gelap dari diri kita, bukankah kita selalu ingin menjadi sempurna dan prima dalam setiap waktu dan kondisi. saking kerasnya tuntutan untuk itu sampai-sampai kita mengutuki bagian lain diri kita sendiri sedemikian rupa bahkan membencinya:
“Saya ini sampah!”
“Saya orang yang tidak berguna”
“Saya orang yang paling tolol”
“Saya nggak mungkin melakukan itu”
“Saya pecundang” dan seterusnya”
Kalau hal itu terjadi spontan saya kira tidak masalah tetapi yang jadi masalah jika hal itu kita ulang-ulang dalam benak kita, maka dengan tidak sadar kita telah memerintahkan diri kita untuk bertindak seperti hal-hal yang kita katakan tersebut. Atau yang lebih parah bisa terjadi seperti yang dilakukan oleh Curt Cobain – pentolan grup legendaris Nirvana – yang sebelum kematiannya dengan bunuh diri meledakkan pistol di kepalanya dia sering berkata dan bahkan mengarang lagu dengan judul I hate myself, i want to die . Naudzu billahi mindzalik, mudah-mudahan Allah yang Maha Memberi Petunjuk dan Kekuatan menjauhkan diri kita dari tragedi seperti itu.
Selanjutnya mari kita bertanya pada diri kita, apa penyebab kita tidak bisa menerima seseorang dan bahkan diri kita apa adanya?
Menurut saya jawabnya adalah : kita tidak mau menanggung rasa sakit sebagai konsekuensi logis dari sikap kita yang menerima apa adanya itu
Respon yang utama dan spontan adalah rasa marah dan kecewa – dan juga bisa jadi frustasi dan merasa tidak berdaya ketika kita mengetahui sisi gelap seseorang yang dekat dengan kita, atau ketika kita melakukan kekonyolan dalam perjalanan hidup kita. begitulah kira-kira penjelasannya. Nampaknnya sudah terlalu panjang ya..? :D
Saya tahu bahwa itu tidak mudah, karena saya akui untuk beberapa kondisi tertentu saya masih sulit dan berat menerima dengan apa adanya – tetapi disini saya hanya ingin berbagi dan mudah-mudahan berguna. Karena saya yakin, bahwa ilmu yang baik akan tetap bermanfaat, meskipun mula-mula tingkatan pemahaman kita baru sebatas teori – Ilmun yakin – tetapi mudah-mudahan dengan melihat dan mempelajari dari pengalaman orang lain pemahaman kita semakin meningkat – ainul yakin – dan jika kita bisa mempraktikkan mudah-mudahan itu menjadi haqqul yakin .
Akhirnya saya mengajak: Mari kita mencoba menerima segalanya dengan apa adanya, pasangan kita, anak-anak kita, saudara kita, teman kita, pekerjaan kita dan hubungan-hubungan kita yang lainnya.
Semoga bermanfaat, dan mohon maaf atas segala khilaf.
Silahkan anda berkomentar – mudah-mudahan akan semakin membuat saya menjadi lebih bijak menghadapi hidup ini.
Salam hangat dari malang.

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "IBSN: Take as a Package! [Menerima Apa Adanya]"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.